Minggu, 18 Oktober 2015

Kebijakan Pembiayaan Defisit APBN

TUGAS 5
Nama              : Dede Santika
Nim                 : 1203477
Prodi               : Pendidikan Ekonomi 2012 A
Tugas              : Kebijakan Pembiayaan Defisit APBN.
Mata Kuliah : Ekonomi Publik

Kebijakan Pembiayaan Defisit APBN

Defisit yang terjadi di Indonesia sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan oleh amanah Undang – Undang No 17 tahun 2003 yang tidak lebih dari 3 persen dari APBN tercermin seperti di tabel satu. Tahun 2008 dan 2009 sebagai dampak dari melambatnya perekonomian dunia di respon oleh defisit dari APBN yang pada tahun sebelumnya 2007 sebesar 1,3 persen menjadi 2,1 dan 2,5 persen di tahun 2008 dan 2009. Dalam pembiayaan defisit APBN tersebut ada beberapa alternatif yang dapat digunakan, diantaranya adalah dengan pinjaman (bond), suku bunga, uang,dll. Pembiayaan defisit dari hutang memerlukan daya tarik yaitu dengan tingginya imbal hasil (bunga) yang ditawarkan. Dampak dari suku bunga yang tinggi pada sisi keuangan negara adalah akan terjadinya capital inflow. Keseimbangan APBN dari pembiayaan hutang tidak selamanya berdampak positif bagi perekonomian, meskipun defisit masih di bawah dari ketentuan Undang – Undang. Neoclasic dan Keynes telah memberikan gambaran akibat bahwa pembiayaan defisit APBN dari hutang yang didukung oleh tingkat suku bunga yang tinggi akan berbentuk Crowding Out dan Crowding In. Pandangan Neoclasic menjelaskan bahwa ketika pemerintah menerbitkan Bond sebagai salah satu cara untuk mengatasi defisit APBN, maka akan terjadi perlambatan kegiatan ekonomi di masyarakat yang disebabkan oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan meningkat akibat dari suku bunga yang di tetapkan pemerintah mengalami kenaikan. Proses tersebut akan berdampak pada pengalihan pinjaman dari dalam negeri ke luar negeri atau yang disebut sebagai Crowding Out. pemerintah Indonesia dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami peningkatan Utang Luar Negeri rata-rata 7% setiap tahunnya. Peningkatan jumlah Utang tersebut mengindikasikan bahwa defisit APBN sebagian di tutup dari Utang. Konsep pembiayaan defisit APBN dari pinjaman atau utang yang lain adalah dengan mengadopsi Ricardian Equivalent Hypotesis (Barro, 1976). Secara sederhana REH memberikan solusi dari beban hutang yang ditanggung pemerintah equivalent dengan besaran pinjaman masyarakat untuk modal di masa datang.
Selain itu, Surat Utang Negara atau dikenal juga sebagai Obligasi Pemerintah diterbitkan untuk menutupi defisit APBN yang terjadi akibat pembiayaan pembangunan nasional, termasuk membiayai penyertaan Pemerintah pada Bank Umum sebagai bagian program nasional untuk restrukturisasi dan penyehatan sektor perbankan. Meskipun obligasi tersebut pada mulanya diterbitkan untuk merekapitalisasi perbankan, namun beberapa seri tertentu saat ini telah tersedia untuk dibeli oleh masyarakat.
Berbagai jenis pinjaman negara dikembangkan oleh pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Target penerbitan SBN dalam APBN dipenuhi melalui dua instrumen, yaitu Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Instrumen SUN yangditerbitkan terdiri atas Obligasi Negara (ON) dengan: (1) tingkat suku bunga tetap, yaitu serifixed rate (FR) dan ON Ritel (ORI); (2) tingkat suku bunga mengambang, yaitu seri variable rate(VR); (3) tanpa bunga, yaitu Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan Zero Coupon Bond (ZC);serta (4) ON valas. Sementara itu, instrumen SBSN yang diterbitkan terdiri atas Islamic FixedRate (IFR), Sukuk Ritel (SUKRI), Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS), Project Based Sukuk (PBS), dan sukuk valas.
Dalam perkembangan terakhir, pemerintah terus menerbitkan berbagai seri SBN sebagai instrumen pinjaman neara. Pada periode Januari—Juni 2014 tercatat realisasi penerbitan SBN domestik meliputi penerbitan SUN dan SBSN domestik berbunga tetap yang terdiri dari SPN, FR, SPNS, PBS, SUN Ritelyaitu ORI dan SUKRI. Sebagai upaya mengembangkan pasar SUN domestik seri ritel melalui diversifikasi instrumen dan perluasan basis investor, Pemerintah menerbitkan instrumen SavingBonds Retail (SBR) pada lelang bulan Mei 2014. Perbedaan utamanya dengan ORI yaitu SBR bersifat instrumen nontradable/tidak diperdagangkan di pasar sekunder hingga jatuh tempo.Realisasi penerbitan SBR sampai dengan semester I 2014 adalah sebesar Rp2,4 triliun
Sedangkan, apabila defisit anggaran diatasi dengan hutang luar negeri akan menjadi pemicu krisis ekonomi Indonesia, seperti yang terjadi ketika orde baru. Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif – rasional.  Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar “setoran” hutang.
Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut.
Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Batas merah dari DSR sebesar 20 persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar negeri ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan hutang luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena DPR mandul. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para teknokrat dan ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri masih dapat dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable).
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal 1980-an. Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan lama karena sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam minyak dan non minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari waktu ke waktu semakin berkurang.
Pemborosan demi pemborosan satu per satu terlihat semakin gamblang, terutama ketika terjadi korupsi pertamina pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Namun kasusnya ditutup-tutupi karena menyangkut kepentingan penguasa, yang telah memanfaatkan BUMN menjadi “sapi perah”. Sejak itu tidak ada lagi kasus-kasus korupsi yang betul-betul ditangani dengan baik. Kerusakan institusi dan perilaku aktor negara ini telah menjadi benih yang kuat untukk menular ke dalam institusi swasta yang menempel langsung disamping negara. Sistem yang tercipta akhirnya tidak terhindarkan menjadi normal dan bersifat anomali sehingga rentan krisis.
Disinilah kemudian terjadi kegagalan pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya di dalam sistem ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan rente dan inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang bertujuan memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui logika dan nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak produktif sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang terjadi, maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal dan hutang luar negeri.
Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung dan justeru semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat dalam perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung sejalan dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang diterima.
Transaksi hutang luar negeri pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kebanyakan penerimaan pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.
Secara umum menurut pandangan Islam terdapat dua pandangan tentang hutang luar negeri sebagai alternatif menutup defisit anggaran negara. Pandangan pertama menganggap bahwa external financing merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam, meskipun bentuk dan mekanismenya memerlukan modifikasi. Pandangan yang kedua menganggap bahwa negara Islam tidak selayaknya mencari hutang luar negeri sebagai penutup saving gap-nya. Pandangan pertama ini pada dasarnya membolehkan adanya budged deficit yang ditutup dengan external financing, sepanjang bentuk dan mekanismenya disesuaikan dengan syariah. Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh konsep dan fakta historis bahwa kerjasama dengan pihak lain dalam suatu usaha diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Bentuk-bentuk kerjasama yang diperkenankan dalam syariah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lain, dapat dikembangkan sebagai bentuk external financing dalam angaran negara. Bentuk-bentuk ini pada prinsipnya lebih bersifat flow creating equity daripada flow creating debt, dimana mulai banyak diimplementasikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Islamic Development Bank (IDB) telah banyak membiayai proyek di negara-negara Islam dengan skema ini. Dibandingkan dengan hutang, penyertaan modal dipandang lebih konstruktif, proporsional dan fair dalam pembiayaan, karena terdapat pembagian perolehan dan resiko (loss- profit sharing).
Pandangan kedua, melarang negara Islam untuk menutup budged deficit dengan hutang luar negeri. Pandangan ini sebenarnya lebih dikarenakan pertimbangan faktual dan preventif, dimana keterlibatan negara-negara Islam dalam hutang luar negeri pasti akan berinteraksi dengan sistem bunga. Dalam perspektif Islam, bunga (apapun motifnya-produksi-konsumsi, berapapun besar-tinggi/berlipat-lipat/atau rendah) dipandang sebagai riba, dan karenanya dilarang oleh agama dengan tegas.[18] Pada akhirnya, hal ini akan menjerumuskan dalam berbagai bentuk transaksi riba yang dilarang oleh agama. Dengan demikian, maka sebaiknya negara Islam tidak memiliki hutang luar negeri. Dalam fakta, bunga hutang luar negeri juga telah menjadi beban yang berat bagi negara-negara debitur.
Sejarah perekonomian masa Rasulullah Saw menunjukkan bahwa defisit anggaran hanya pernah terjadi pada saat penaklukan Mekkah (Fathu al-Makkah), tetapi segera dilunasi pada periode perang Hunain. Kebanyakan anggaran negara waktu itu seimbang atau surplus, sebagaimana kemudian diikuti oleh khulafaurrasyidin pada masa berikutnya. Pertimbangan utama keseimbangan anggaran saat itu adalah prinsip kesederhanaan dan kemampuan sebagaimana dalam ajaran Islam.
Dari perspektif Islam, praktek dan proses serta implikasi dari hutang luar negeri tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ketidak-sesuaian ini bisa dilihat dari berbagai hal: Pertama, hutang yang didasarkan riba. Bunga mengarah kepada riba yang dilarang oleh Islam, terlepas dari seberapa rendahnya bunga. Kedua, hutang luar negeri menyebabkan jatuhnya martabat bangsa, padahal Islam mengajarkan untuk senantiasa menjaga integritas baik secara individu maupun bangsa. Di sini terlihat sekali bagaimana Indonesia telah didikte, dan kehilangan kebebasan dalam mengatur kebijakan ekonominya ketika berhadapan dengan IMF. Ketiga, hutang luar negeri melanggar prinsip fair dealing dalam Islam. Dilihat dari proses yang diutarakan terdahulu, tidak ada proses tawar menawar yang adil dalam pemberian hutang. Tawar-menawar yang terjadi sangat bias ke arah keuntungan negara maju dan kerugian bagi negara penerima.
Persyaratan yang harus dipenuhi merupakan keputusan sepihak negara donor yang cenderung lebih menguntungkan mereka. Unsur kerelaan yang harisnya diterapkan pada kedua belah pihak tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya dengan melihat kebutuhan yang mendesak dari debitur. Perjanjian yang dibuat tersebut tidak dapat memenuhi kualitas yang ditentukan agama sehingga berdampak hukum dan cenderung tidak dapat dibenarkan (aqad bathil).
Oleh karena itu, dituntut mencari alteratif bagi pembentukan modal dengan berdasarkan filosofi bahwa swasta lebih mengetahui skala prioritas dari proyek yang akan dilaksanakan; sehingga setiap proyek yang dilaksanakan selalu bersifat income generating, misalnya dengan mengundang investor asing (Foreign Direct Investment). Di samping itu, pemerintah perlu membuat framework agar strategic partnership antara investor asing dengan investor lokal. Dengan cara ini pihak swasta diberikan kebebasan menentukan sendiri kebutuhan modal dan alternatif pemenuhan sambutan pemeritah cukup memberikan supervisi yang diperlukan.
Memang tidak bisa mengandalkan perbaikan kesejahteraan dengan menyandarkan pada usaha swasta karena keterbatasannya melakukan investasi untuk pengadaan public good, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah yang tidak mempunyai dana membiayai proyek-proyek public good. Sesuai perspektif Islam dalam rangka mengangkat kesejahteraan masyarakat, termasuk pengadaan public good, dapat diperoleh melalui uang zakat. Zakat tidak hanya dibatasi dalam skala ruang yang sempit. Perspektif zakat haruslah borderless yang bisa diberikan kepada saudara sesama muslim. Potensi zakat diyakini sangat besar, jika setiap muslim mempunyai komitmen kuat dalam pembayaran zakat. Selain itu, dalam zaman modern ini obyek zakat sangat bervariasi, yang sampai saat ini belum pernah sekalipun dieksplorasi. Jumlah zakat ini bisa disalurkan kepada berbagai negara muslim yang membutuhkan. Sehingga dengan demikian, semangat pemberian bukannya antara tuan dan budak seperti kasus hutang luar negeri, tetapi atas dasar semangat brotherhood yang lebih mementingkan kesejahteraan umat, bukan kesejahteraan negara donor. Dengan zakat ini inferiority bagi negara penerima, sehingga tetap bisa mempertahankan integritas suatu bangsa.
Namun, dalam kondisi kesulitan, pailit dan krisis yang diderita oleh debitur, al-Qur’an secara bijak menawarkan solusi yang realistis dan manusiawi. Allah berfirman:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat tersebut menawarkan tiga alternatif penyelesaian krisis hutang:
  1. Penangguhan pembayaran hutang sampai debitur mampu mengembalikan hutangnya. Dalam konteks hutang luar negeri perlu diadakan penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang bersama dengan lembaga dan negara kreditur.
  2. Peringanan pembayaran hutang sesuai dengan kemampuan debitur. Pemberian keringanan ini besar kecilnya atau prosentasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
  3. Pembebasan seluruh hutang. Dalam kondisi dimana debitur tidak mampu membayar hutang, adalah sangat manusiawi dan terpuji bila kreditur mau membebaskan debitur dari seluruh hutangnya.
Prinsip yang telah digariskan al-Qur’an adalah tidak membebani kepada manusia kecuali sebatas kemampuannya. Allah berfirman:
Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Solusi tersebut di atas adalah cara penyelesaian krisis hutang secara internal. Islam masih menawarkan teori penyelesaian krisis hutang secara sosial. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar pailit yang dalam istilah hukum Islamnya disebut muflis, Islam menawarkan dua cara penyelesaian:
a.       Bantuan sosial dari masyarakat.
Sanak saudara, teman dan para dermawan secara sukarela memberikan bantuan untuk menyelesaikan hutang debitur yang pailit. Ini merupakan perwujudan dari kepekaan, kepedulian dan solidaritas sosial sebagaimana yang dianjurkan Islam. Cara penyelesaian sosial ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Pada saat itu ada seorang pengusaha yang jatuh pailit dan masih menanggung beban hutang yang sangat berat akibat kegagalan usaha buah-buahan. Nabi menyerukan kepada masyarakat untuk memberikan bantuan, dan bantuan pun mengalir, meskipun akhirnya belum juga dapat menutup seluruh utangnya. Kemudian Nabi mengambil kebijakan meminta kepada seluruh kreditur untuk mau menerima apa yang bisa didapat dan mengikhlaskan kekurangannya.
b.      Bantuan sosial dari lembaga zakat dan negara.
Debitur yang bangkrut, berhak mendapatkan bantuan sosial dari lembaga zakat atau dana sosial dari negara. Dengan catatan hutang tersebut benar-benar digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umum. Dari uraian tersebut di atas, menjadi tampak jelas bahwa solusi yang ditawarkan Islam untuk memecahkan masalah krisis hutang adalah sangat realistis, adil dan manusiawi, serta dapat diterapkan secara universal, baik antar pribadi, antar bangsa dan antar negara. Solusi tersebut telah mensinergikan berbagai dimensi sudut pandang, dimensi individu dan masyarakat, dimensi hukum, etika dan moral.

Referensi
Kusuma, Hendra. (2012). Kebijakan Pembiyaan Defisit APBN (Ricardian Equivalent Hypotesis). [Online]. Tersedia: http://www.umm.ac.id (12 Maret 2015).
Muhaimin. (2010). Masalah Hutang Luar Negeri Indonesia dan Alternatif Solusinya Dalam Perspektif Kebijakan Ekonomi Makro Islam. [Online]. Tersedia: https://muhaiminkhair.wordpress.com (12 Maret 2015).
Munawar. Dungtji. (2014). Peran Surat Utang Negara Sebagai Penutup Defisit APBN. [Online]. Tersedia: http://www.bppk.kemenkeu.go.id (12 Maret 2015).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar