TUGAS 5
|
Nim
: 1203477
Prodi : Pendidikan Ekonomi 2012 A
Tugas
: Kebijakan Pembiayaan Defisit APBN.
Mata
Kuliah : Ekonomi Publik
Kebijakan
Pembiayaan Defisit APBN
Defisit yang terjadi di Indonesia
sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan oleh amanah Undang – Undang No 17
tahun 2003 yang tidak lebih dari 3 persen dari APBN tercermin seperti di tabel
satu. Tahun 2008 dan 2009 sebagai dampak dari melambatnya perekonomian dunia di
respon oleh defisit dari APBN yang pada tahun sebelumnya 2007 sebesar 1,3
persen menjadi 2,1 dan 2,5 persen di tahun 2008 dan 2009. Dalam pembiayaan
defisit APBN tersebut ada beberapa alternatif yang dapat digunakan, diantaranya
adalah dengan pinjaman (bond), suku bunga, uang,dll. Pembiayaan defisit dari
hutang memerlukan daya tarik yaitu dengan tingginya imbal hasil (bunga) yang
ditawarkan. Dampak dari suku bunga yang tinggi pada sisi keuangan negara adalah
akan terjadinya capital inflow. Keseimbangan APBN dari pembiayaan hutang tidak
selamanya berdampak positif bagi perekonomian, meskipun defisit masih di bawah
dari ketentuan Undang – Undang. Neoclasic dan Keynes telah memberikan gambaran
akibat bahwa pembiayaan defisit APBN dari hutang yang didukung oleh tingkat
suku bunga yang tinggi akan berbentuk Crowding Out dan Crowding In. Pandangan
Neoclasic menjelaskan bahwa ketika pemerintah menerbitkan Bond sebagai salah
satu cara untuk mengatasi defisit APBN, maka akan terjadi perlambatan kegiatan
ekonomi di masyarakat yang disebabkan oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan
meningkat akibat dari suku bunga yang di tetapkan pemerintah mengalami
kenaikan. Proses tersebut akan berdampak pada pengalihan pinjaman dari dalam
negeri ke luar negeri atau yang disebut sebagai Crowding Out. pemerintah
Indonesia dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami peningkatan Utang Luar Negeri
rata-rata 7% setiap tahunnya. Peningkatan jumlah Utang tersebut mengindikasikan
bahwa defisit APBN sebagian di tutup dari Utang. Konsep pembiayaan defisit APBN
dari pinjaman atau utang yang lain adalah dengan mengadopsi Ricardian
Equivalent Hypotesis (Barro, 1976). Secara sederhana REH memberikan solusi dari
beban hutang yang ditanggung pemerintah equivalent dengan besaran pinjaman masyarakat
untuk modal di masa datang.
Selain itu, Surat Utang Negara atau
dikenal juga sebagai Obligasi Pemerintah diterbitkan untuk menutupi
defisit APBN yang terjadi akibat pembiayaan pembangunan nasional, termasuk
membiayai penyertaan Pemerintah pada Bank Umum sebagai bagian program nasional
untuk restrukturisasi dan penyehatan sektor perbankan. Meskipun obligasi
tersebut pada mulanya diterbitkan untuk merekapitalisasi perbankan, namun
beberapa seri tertentu saat ini telah tersedia untuk dibeli oleh masyarakat.
Berbagai jenis pinjaman negara
dikembangkan oleh pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Target penerbitan SBN dalam APBN dipenuhi melalui dua instrumen, yaitu Surat
Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Instrumen SUN
yangditerbitkan terdiri atas Obligasi Negara (ON) dengan: (1) tingkat suku
bunga tetap, yaitu serifixed rate (FR) dan ON Ritel (ORI); (2) tingkat
suku bunga mengambang, yaitu seri variable rate(VR); (3) tanpa bunga,
yaitu Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan Zero Coupon Bond (ZC);serta
(4) ON valas. Sementara itu, instrumen SBSN yang diterbitkan terdiri atas Islamic
FixedRate (IFR), Sukuk Ritel (SUKRI), Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI),
Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS), Project Based Sukuk (PBS),
dan sukuk valas.
Dalam perkembangan terakhir,
pemerintah terus menerbitkan berbagai seri SBN sebagai instrumen pinjaman
neara. Pada periode Januari—Juni 2014 tercatat realisasi penerbitan SBN
domestik meliputi penerbitan SUN dan SBSN domestik berbunga tetap yang terdiri
dari SPN, FR, SPNS, PBS, SUN Ritelyaitu ORI dan SUKRI. Sebagai upaya
mengembangkan pasar SUN domestik seri ritel melalui diversifikasi instrumen dan
perluasan basis investor, Pemerintah menerbitkan instrumen SavingBonds
Retail (SBR) pada lelang bulan Mei 2014. Perbedaan utamanya dengan ORI
yaitu SBR bersifat instrumen nontradable/tidak diperdagangkan di pasar
sekunder hingga jatuh tempo.Realisasi penerbitan SBR sampai dengan semester I
2014 adalah sebesar Rp2,4 triliun
Sedangkan,
apabila defisit anggaran diatasi dengan hutang luar negeri akan menjadi pemicu krisis
ekonomi Indonesia, seperti yang terjadi ketika orde baru. Perpindahan
dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan
Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan
persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar
negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru
sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan
betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol
sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal
pasar, yang obyektif – rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang
berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan
dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain
kebijakan ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang
dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan
proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran
rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan
mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat
terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar
negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan
untuk mengejar “setoran” hutang.
Namun demikian, teknokrat para
pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang
baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang
menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh
sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah
menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang
terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa
ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi
yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan
dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi
masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam
berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta
implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri
tersebut.
Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan
ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis
kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt service ratio
yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut
telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim
usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non
ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih
besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Batas merah dari DSR sebesar 20
persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar negeri
ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan hutang
luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api
dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena
DPR mandul. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon
politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para teknokrat dan
ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri masih dapat
dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable).
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi
karena diawali dengan
semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan kelompok kepentingan
yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan ekonomi serba negara
sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal 1980-an. Namun sistem
ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan lama karena sumber daya
pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam minyak dan non minyak
serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari waktu ke waktu semakin
berkurang.
Pemborosan demi pemborosan satu per satu terlihat semakin gamblang,
terutama ketika terjadi korupsi pertamina pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo.
Namun kasusnya ditutup-tutupi karena menyangkut kepentingan penguasa, yang
telah memanfaatkan BUMN menjadi “sapi perah”. Sejak itu tidak ada lagi
kasus-kasus korupsi yang betul-betul ditangani dengan baik. Kerusakan institusi
dan perilaku aktor negara ini telah menjadi benih yang kuat untukk menular ke
dalam institusi swasta yang menempel langsung disamping negara. Sistem yang
tercipta akhirnya tidak terhindarkan menjadi normal dan bersifat anomali
sehingga rentan krisis.
Disinilah kemudian terjadi kegagalan pemerintah (state failure)
dalam memainkan perannya di dalam sistem ekonomi politik yang sehat. Kelemahan
dalam membangun sistem ekonomi politik menular ke lembaga swasta sehingga dunia
usahapun dipenuhi distorsi, perburuan rente dan inefisiensi. Kegagalan
kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang bertujuan memacu arus masuk modal
asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui logika dan nalar berfikir seperti
ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian terlihat gejala-gejala perlambatan
pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi
modal yang dilakukan tidak produktif sehingga harus terus ditopang oleh hutang
luar negeri. Karena pemborosan yang terjadi, maka nilai tambah yang tercipta
tidak mengarah pada produktifitas modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia
terus haus terhadap tambahan modal dan hutang luar negeri.
Bahkan pada
pertengahan tahun 1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung
dan justeru semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin
terjerat dalam perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini
berlangsung sejalan dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar
negeri karena pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari
jumlah hutang baru yang diterima.
Transaksi hutang luar negeri
pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti
dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran
modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan
kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal
secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kebanyakan penerimaan
pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai
untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia
akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat
dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah
tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang
signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan
yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga
terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus
dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap
hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya
sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga
sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.
Secara umum menurut pandangan Islam
terdapat dua pandangan tentang hutang luar negeri sebagai alternatif menutup
defisit anggaran negara. Pandangan pertama menganggap bahwa external
financing merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam, meskipun bentuk dan
mekanismenya memerlukan modifikasi. Pandangan yang kedua menganggap bahwa
negara Islam tidak selayaknya mencari hutang luar negeri sebagai penutup saving
gap-nya. Pandangan pertama ini pada dasarnya membolehkan adanya budged
deficit yang ditutup dengan external financing, sepanjang bentuk dan
mekanismenya disesuaikan dengan syariah. Pandangan tersebut dilatarbelakangi
oleh konsep dan fakta historis bahwa kerjasama dengan pihak lain dalam suatu
usaha diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Bentuk-bentuk kerjasama yang
diperkenankan dalam syariah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah,
dan lain-lain, dapat dikembangkan sebagai bentuk external financing
dalam angaran negara. Bentuk-bentuk ini pada prinsipnya lebih bersifat flow
creating equity daripada flow creating debt, dimana mulai banyak
diimplementasikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Islamic
Development Bank (IDB) telah banyak membiayai proyek di negara-negara Islam
dengan skema ini. Dibandingkan dengan hutang, penyertaan modal dipandang lebih
konstruktif, proporsional dan fair dalam pembiayaan, karena terdapat pembagian
perolehan dan resiko (loss- profit sharing).
Pandangan kedua, melarang negara
Islam untuk menutup budged deficit dengan hutang luar negeri. Pandangan
ini sebenarnya lebih dikarenakan pertimbangan faktual dan preventif, dimana
keterlibatan negara-negara Islam dalam hutang luar negeri pasti akan
berinteraksi dengan sistem bunga. Dalam perspektif Islam, bunga (apapun
motifnya-produksi-konsumsi, berapapun besar-tinggi/berlipat-lipat/atau rendah)
dipandang sebagai riba, dan karenanya dilarang oleh agama dengan tegas.[18] Pada akhirnya, hal ini akan menjerumuskan dalam berbagai bentuk transaksi
riba yang dilarang oleh agama. Dengan demikian, maka sebaiknya negara Islam tidak
memiliki hutang luar negeri. Dalam fakta, bunga hutang luar negeri juga telah
menjadi beban yang berat bagi negara-negara debitur.
Sejarah perekonomian masa Rasulullah Saw menunjukkan
bahwa defisit anggaran hanya pernah terjadi pada saat penaklukan Mekkah (Fathu
al-Makkah), tetapi segera dilunasi pada periode perang Hunain. Kebanyakan
anggaran negara waktu itu seimbang atau surplus, sebagaimana kemudian diikuti
oleh khulafaurrasyidin pada masa berikutnya. Pertimbangan utama keseimbangan
anggaran saat itu adalah prinsip kesederhanaan dan kemampuan sebagaimana dalam
ajaran Islam.
Dari perspektif Islam, praktek dan proses serta
implikasi dari hutang luar negeri tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Ketidak-sesuaian ini bisa dilihat dari berbagai hal: Pertama, hutang
yang didasarkan riba. Bunga mengarah kepada riba yang dilarang oleh Islam,
terlepas dari seberapa rendahnya bunga. Kedua,
hutang luar negeri menyebabkan jatuhnya martabat bangsa, padahal Islam
mengajarkan untuk senantiasa menjaga integritas baik secara individu maupun
bangsa. Di sini terlihat sekali bagaimana Indonesia telah didikte, dan
kehilangan kebebasan dalam mengatur kebijakan ekonominya ketika berhadapan
dengan IMF. Ketiga, hutang luar
negeri melanggar prinsip fair dealing dalam Islam. Dilihat dari proses
yang diutarakan terdahulu, tidak ada proses tawar menawar yang adil dalam
pemberian hutang. Tawar-menawar yang terjadi sangat bias ke arah keuntungan
negara maju dan kerugian bagi negara penerima.
Persyaratan yang harus dipenuhi
merupakan keputusan sepihak negara donor yang cenderung lebih menguntungkan
mereka. Unsur kerelaan yang harisnya diterapkan pada kedua belah pihak tidak
dapat dijalankan sebagaimana mestinya dengan melihat kebutuhan yang mendesak
dari debitur. Perjanjian yang dibuat tersebut tidak dapat memenuhi kualitas
yang ditentukan agama sehingga berdampak hukum dan cenderung tidak dapat
dibenarkan (aqad bathil).
Oleh karena itu, dituntut mencari
alteratif bagi pembentukan modal dengan berdasarkan filosofi bahwa swasta lebih
mengetahui skala prioritas dari proyek yang akan dilaksanakan; sehingga setiap
proyek yang dilaksanakan selalu bersifat income generating, misalnya
dengan mengundang investor asing (Foreign Direct Investment). Di
samping itu, pemerintah perlu membuat framework agar strategic partnership
antara investor asing dengan investor lokal. Dengan cara ini pihak swasta
diberikan kebebasan menentukan sendiri kebutuhan modal dan alternatif pemenuhan
sambutan pemeritah cukup memberikan supervisi yang diperlukan.
Memang tidak bisa mengandalkan
perbaikan kesejahteraan dengan menyandarkan pada usaha swasta karena
keterbatasannya melakukan investasi untuk pengadaan public good, yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah
yang tidak mempunyai dana membiayai proyek-proyek public good. Sesuai
perspektif Islam dalam rangka mengangkat kesejahteraan masyarakat, termasuk
pengadaan public good, dapat diperoleh melalui uang zakat. Zakat tidak
hanya dibatasi dalam skala ruang yang sempit. Perspektif zakat haruslah borderless
yang bisa diberikan kepada saudara sesama muslim. Potensi zakat diyakini sangat
besar, jika setiap muslim mempunyai komitmen kuat dalam pembayaran zakat.
Selain itu, dalam zaman modern ini obyek zakat sangat bervariasi, yang sampai
saat ini belum pernah sekalipun dieksplorasi. Jumlah zakat ini bisa disalurkan
kepada berbagai negara muslim yang membutuhkan. Sehingga dengan demikian,
semangat pemberian bukannya antara tuan dan budak seperti kasus hutang luar
negeri, tetapi atas dasar semangat brotherhood yang lebih mementingkan
kesejahteraan umat, bukan kesejahteraan negara donor. Dengan zakat ini inferiority
bagi negara penerima, sehingga tetap bisa mempertahankan integritas suatu
bangsa.
Namun, dalam kondisi kesulitan,
pailit dan krisis yang diderita oleh debitur, al-Qur’an secara bijak menawarkan
solusi yang realistis dan manusiawi. Allah berfirman:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan,
maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat tersebut menawarkan tiga alternatif penyelesaian
krisis hutang:
- Penangguhan
pembayaran hutang sampai debitur mampu mengembalikan hutangnya. Dalam
konteks hutang luar negeri perlu diadakan penjadwalan ulang (rescheduling)
pembayaran utang bersama dengan lembaga dan negara kreditur.
- Peringanan
pembayaran hutang sesuai dengan kemampuan debitur. Pemberian keringanan
ini besar kecilnya atau prosentasinya disesuaikan dengan kemampuan dan
kesepakatan kedua belah pihak.
- Pembebasan
seluruh hutang. Dalam kondisi dimana debitur tidak mampu membayar hutang,
adalah sangat manusiawi dan terpuji bila kreditur mau membebaskan debitur
dari seluruh hutangnya.
Prinsip yang telah digariskan al-Qur’an adalah tidak
membebani kepada manusia kecuali sebatas kemampuannya. Allah berfirman:
“Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.
Solusi tersebut di atas adalah cara
penyelesaian krisis hutang secara internal. Islam masih menawarkan teori
penyelesaian krisis hutang secara sosial. Dalam kondisi dimana debitur
benar-benar pailit yang dalam istilah hukum Islamnya disebut muflis, Islam
menawarkan dua cara penyelesaian:
a. Bantuan sosial dari
masyarakat.
Sanak saudara, teman dan para dermawan secara sukarela
memberikan bantuan untuk menyelesaikan hutang debitur yang pailit. Ini
merupakan perwujudan dari kepekaan, kepedulian dan solidaritas sosial
sebagaimana yang dianjurkan Islam. Cara penyelesaian sosial ini pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Pada saat itu ada seorang pengusaha yang
jatuh pailit dan masih menanggung beban hutang yang sangat berat akibat
kegagalan usaha buah-buahan. Nabi menyerukan kepada masyarakat untuk memberikan
bantuan, dan bantuan pun mengalir, meskipun akhirnya belum juga dapat menutup
seluruh utangnya. Kemudian Nabi mengambil kebijakan meminta kepada seluruh
kreditur untuk mau menerima apa yang bisa didapat dan mengikhlaskan
kekurangannya.
b. Bantuan sosial dari
lembaga zakat dan negara.
Debitur yang bangkrut, berhak mendapatkan bantuan
sosial dari lembaga zakat atau dana sosial dari negara. Dengan catatan hutang
tersebut benar-benar digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umum. Dari
uraian tersebut di atas, menjadi tampak jelas bahwa solusi yang ditawarkan
Islam untuk memecahkan masalah krisis hutang adalah sangat realistis, adil dan
manusiawi, serta dapat diterapkan secara universal, baik antar pribadi, antar
bangsa dan antar negara. Solusi tersebut telah mensinergikan berbagai dimensi
sudut pandang, dimensi individu dan masyarakat, dimensi hukum, etika dan moral.
Referensi
Kusuma, Hendra. (2012). Kebijakan Pembiyaan Defisit APBN (Ricardian
Equivalent Hypotesis). [Online]. Tersedia: http://www.umm.ac.id (12 Maret
2015).
Muhaimin. (2010). Masalah Hutang Luar Negeri Indonesia dan Alternatif Solusinya Dalam
Perspektif Kebijakan Ekonomi Makro Islam. [Online].
Tersedia: https://muhaiminkhair.wordpress.com (12 Maret 2015).
Munawar. Dungtji. (2014). Peran
Surat Utang Negara Sebagai Penutup Defisit APBN. [Online].
Tersedia: http://www.bppk.kemenkeu.go.id (12 Maret 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar