Nama : Dede Santika
Nim
: 1203477
Prodi : Pendidikan Ekonomi 2012 A
Tugas
: Essay tentang Pengelolaan
Negara Tanpa Pajak dan Utang.
Mata
Kuliah : Ekonomi Publik
Pengelolaan
Negara Tanpa Pajak dan Utang
a.
Gambaran
Umum Pajak di Negara Indonesia
Menurut Prof.Dr.
Rachmat Soemitro, S.H. pajak adalah iuran rakyat kepada Negara yang berdasarkan
Undang-Undang, tidak mendapat timbal balik yang langsung dapat ditunjukan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan apabila dilihat dari
sisi propektif ekonomi maka pajak adalah beralihnya sumber daya dari sektor
privat kepada sektor publik yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan individu
dalam kepentingan menguasai sumber daya dan bertambahnya kemampuan keuangan
Negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan
masyarakat.
Seperti negara-negara
lainnya, Indonesia juga mengenakan pajak terhadap warga negaranya. Tax rasio
Indonesia masih tergolong cukup kecil, yaitu hanya berada dikisaran 12%.
Meskipun demikian, jumlah penerimaan pajak selalu mengalami peningkatan
setiap tahun, bahkan tahun 2012, penerimaan pajak dan bea cukai ditargetkan
mencapai lebih dari 1000 trilliun. Jika melihat komposisi penerimaan negara
dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sejak tahun 2006 s.d
2011, sektor pajak dan bea cukai memberi sumbangsih rata-rata sebesar 70% dari
total pendapatan negara. Dengan kondisi tersebut, tidak bisa dipungkiri
bahwa sektor pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara. Indonesia
belum siap untuk mengandalkan sektor lain selain sektor pajak. Dalam APBN tahun
2011, penerimaan dari sektor pajak mencapai Rp.873.9 triliun, sedangkan
penerimaan negara dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp.352
triliun. Meskipun terbilang cukup besar, penerimaan sektor ESDM ini belum
mampu menutupi pengeluaran negara dan hanya memberi sumbangsih sebesar 29,7 %
dari total penerimaan negara.
Indonesia adalah negeri
kaya yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Tetapi ada beberapa alasan
mengapa pajak tetap menjadi prioritas utama bagi penerimaan negara,
yaitu:
- Faktor
geografis dan demografi Indonesia, dimana indonesia memiliki wilayah luas
yang terdiri dari 17.000 pulau dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia
yang populasinya mencapai 240 juta jiwa. Dengan kondisi tersebut,
pembangunan secara merata diseluruh wilayah dan upaya meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan
dukungan finansial yang kuat untuk mewujudkan hal tersebut. Hasil kekayaan
alam yang kita miliki ternyata belum cukup mampu membiayai program
tersebut, sehingga peranan pajak masih sangat diperlukan.
- Meskipun
Indonesia memiliki kekayaan sumber alam yang melimpah, semua akan menjadi
sia-sia jika tidak mampu dikelola dengan baik. Pembangunan infrastruktur
tentunya menjadi faktor penunjang utama untuk memaksimalkan pengolahan
kekayaan alam. Namun, pembangungan infrastruktur merupakan investasi yang
sangat besar dan penerimaan pajak tetap menjadi sumber utama untuk
membiayai investasi tersebut.
- Pertimbangan
bahwa suatu saat kekayaan alam yang kita miliki akan habis, menjadikan
pajak sebagai prioritas dan solusi utama sumber pembiayaan negara.
Penjelasan di atas adalah gambaran umum mengenai negara
Indonesia. Negara yang diakui tidak menganut sistem Kapitalisme ini,
jelas-jelas terperosok dalam jurang yang dalam. Kekayaan yang melimpah tidak
memberikan manfaat untuk rakyatnya. Negara dan rakyatnya terus-menerus terbelit
utang yang semakin membesar. Selain beban utang, rakyat pun harus menanggung
beban pajak yang semakin lama semakin ragam itemnya, karena subsidi yang
harusnya menjadi hak rakyat malah semakin dikurangi dan beban pajak pun semakin
tinggi. Adapun akibat dari peningkatan pajak
salah satunya bisa berdampak pada turunnya daya beli masyarakat, dengan begitu Agregat Demand pun akan mengalami
penurunan pula. Sebab, pada dasarnya konsumsi masyarakat adalah salah satu
komponen utama yang menunjang pendapatan nasional. Sehingga akhirnya akan
mengurangi jumlah pendapatan negara. Seperti layaknya lingkaran setan, ketika
akan memperbaiki suatu hal dengan meningkatkan salah satu faktor, tetapi malah berdampak faktor lain yang mengalami
penurunan. Hal yang merugikan masyarakat adalah adalah kebocoran pengelolaan
pajak yang masuk pada kantong-kantong tertentu. Di samping itu, pemerintah
tidak bisa memberikan transparansi pengelolaan pajak secara benar kepada
masyarakat luas. Pembiyaan negara bisa dilakukan dengan mengikuti apa yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mengelola negara pada zaman
pemerintahannya.
b.
Ketentuan
Islam Mengenai Pajak
Istilah pajak dalam khasanah fikih Islam adalah sebagai ad-Dharibah yang artinya secara
terminologis merupakan harta yang diambil dari rakyat untuk mengurus negara.
Pajak dalam Islam diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai
beberapa kebutuhan dan pos-pos lainnya diwajibkan kepada mereka,ketika di
Baitul Maal tidak ada lagi harta. Pengelolaan keuangan negara ketika Rasulullah
tidak terfokus pada sektor pajak. Namun, dijelaskan dalam Islam bahwa suatu
negara dapat memperoleh sumber-sumber penerimaan negara yang bersifat tetap
yaitu dari: harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah; harta
milik umum; harta milik negara; ‘usyr; khumus rikâz; barang
tambang; dan zakat. Pemasukan tersebut diupayakan harus cukup untuk membiayai
seluruh pengeluaran yang wajib ditunaikan oleh Baitul Mal. Dengan seluruh
sumber di atas, negara pada dasarnya akan mampu membiayai dirinya dalam rangka
mensejahterakan rakyatnya. Dalam keadaan normal, pajak (dharîbah)
sesungguhnya tidak diperlukan. Negara hanya memungut pajak sewaktu-waktu, yaitu
saat kas negara benar-benar defisit. Itu pun hanya dipungut dari kaum Muslim
yang kaya saja, tidak berlaku secara umum atas seluruh warga negara. Dalam hal
ini, Khilafah tidak akan pernah memungut pajak secara rutin, apalagi
menjadikannya sumber utama penerimaan negara (An-Nabhani, 2004: 238).
Selain adanya pemasukan rutin, syariat Islam juga telah
mengatur pos-pos pengeluaran tertentu yang harus dipenuhi oleh Baitul Mal, baik
dalam kondisi ada harta maupun tidak. Jika pos-pos pengeluaran penting tersebut
tidak ditutupi oleh Baitul Mal, maka negara tidak akan memungut pajak dari
rakyatnya. Namun, pada kondisi tertentu beban yang dipikul negara Khilafah
sangatlah besar, sehingga pendapat Baitul Mal tidak cukup untuk menutupi
pembiayaan wajib. Jika pendapatan negara tidak cukup, maka negara akan meminta
sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Tetapi jika sumbangan tersebut juga tidak
bisa menutupi pos-pos kebutuhan dan pengeluaran wajib, maka saat itulah
kewajiban pembiyaan berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran tersebut beralih
pada seluruh kaum Muslim. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa Allah telah
mewajibkan atas mereka untuk membiayai berbagai kebutuhan maupun pos-pos
pengeluaran tersebut, ketika Baitul Mal tidak sanggup lagi. Alasan lain jika
kebutuhan dan pos-pos pengelurana itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan
terhadap kaum Muslim. Padahal Allah SWT juga telah mewajibkan negara dan umat
untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim, Rasulullah SAW
bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya
(dlarar) dan (saling) membahayakan.”.(HR.
Bukhari dan Muslim).
c. Kriteria Pajak dalam Islam
Penetapan pajak kepada rakyat dalam
Islam pada dasarnya karena kondisi emergency
(darurat), bukan kondisi normal. Hukum asalnya bahkan haram, tetapi menjadi
boleh setelah kaadaan menjadi darurat. Oleh karena itu, tidak semua negara
dalam pandangan Islam menjadi wajib pajak, dalam pengertian Dharibah sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas. Islam pun telah menetapkan kriteria pajak tersebut dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Muslim,
2. Mampun dan
mempunyai kelebihan harta,
3. Dipungut
sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.
Mengenai
alasan syara’ menetapkan wajib pajak tersebut kepada Muslim, karena kebutuhan
yang didanai melalui pajak tersebut adalah kebutuhan jihad, dan yang terkait
seperti pembentukan pasukan, latihan militer, pengadaan alustista dan
sebagainya, sementara aktivitas ini merupakan kewajiban kaum Muslim. Selain
jihad, kebutuhan yang didanai melalui pajak yaitu kebutuhan fakir miskin dan
Ibnu Sabil, dimana pembiyaan terhadap mereka telah diwajibkan oleh Allah SWT
kepada kaum Muslim. Demikian halnya kebutuhan untuk membayar gaji tentara,
pegawai, hakim, guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan untuk
kemaslahatan kaum Muslim, bukan yang lain. Begitu juga pemerintah menghilangkan
bahaya (dharar) itu juga
diperintahkan kepada kaum Muslim, seperti pembukaan jalan-jalan umum,
sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran air
minum, dan yang lainnya. Karena jika tidak ada, maka akan menjadi dharar dalam kehidupan mereka. Termasuk
di dalamnya, pembiayaan untuk keadaan darurat maupun bencana alam, seperti
longsor, gempa bumi, angin topan, dan pembiayaan untuk mengusir musum. Semua
itu diperintahkan oleh syara’ kepada kaum Muslim. Karena itu, jika pajak
dipungut dari orang non-Muslim, statusnya sama dengan mengambil harta yang
tidak diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan ini jelas zalim. Dengan kata
lain, mewajibkan apa yang tidak diiwajibkan oleh Allah SWT. Keduanya sama-sama
tidak boleh. Untuk orang non-Muslim, syariat tidak pernah mewajibkan kepada
mereka, selain jizyah, sehingga tidak
boleh mengambil harta lain dari mereka.
Adapun wajib
pajak tersebut ditetapkan hanya untuk orang yang mampu dan mempunyai kelebihan
harta, karena Rasulullah SAW bersabda:
‘Sebaik-baiknya sedekah adalah harta
yang diberikan oleh orang kaya.’ (HR.
Khuzaimah).
d. Alokasi Penggunaan Pajak jika Dibutuhkan
Adapun kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran yang pembiayaannya bisa diambil dari pajak, jika Baitul Mal dan sumbangan
sukarela kaum Muslim tidak mencukupi untuk menutupi pembiyaan adalah sebagai
berikut ini:
·
Pembiayaan jihad dan semua hal yang berkaitan dengan
aktivitas jihad seperti pembentukan pasukan yang kuat dsb.
·
Pembiayaan industri militer maupun pabrik-pabrik
penunjangnya yang memungkinakan negara mempunyai industri persenjataan.
·
Pembiayaan bagi fakir miskin dan Ibnu Sabil.
·
Pembiayaan untuk gaji tentara, pegawai, hakim, guru,
dan lain-lain.
·
Pembiayaan untuk kemasalhatan umat yang keberadaannya
sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai menyebabkan bahaya.
·
Pembiyaan untuk keadaaan darurat seperti bencana alam.
e. Pandangan Islam tentang Utang
Utang disebut oleh para fukaha’
dengan istilah al-qardh, secara
harfiah berarti al-qath’ (potongan).
Karena harta tersebut merupakan potongan dari harta benda pemberi utang (al-mudharib). Sedangkan mazhab Hanafi
memberikan rincian sebagai berikut:
·
Barang yang diberikan sebagai utang harus mempunyai
nilai finasial.
·
Kekhususan
manfaat.
·
Tidak memungkinkan terjadinya ‘ariyah (pinjaman).
·
Ada barang pengganti yang diambil.
·
Barang pengganti tidak berbeda dengan yang diganti.
Inilah
batasan dan ketentuan umum tentang utang, termasuk barang yang diutang.
Ketentuan ini mendeskripsikan bahwa utang
adalah bentuk akad yang melibatkan dua pihak. Adapun kriteria pengutang (al-mustaqridh):
·
Baligh
·
Berakal
·
Bebas (tidak dipaksa)
·
Orang yang layak melakukan tabarru (memberikan harta).
Dari penjelasan di atas dapat
dimimpulkan bahwa sistem Ekonomi Syariah merupakan jalan yang terbaik untuk
menjadikan Indonesia menjadi lebih maju. Tidak ada yang merasa dirugikan
terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Tidak akan ada pula kekayaan yang
dikuasai oleh sebagian kelompok kecil saja. Dalam Syariat Islam, SDA merupakan
kepimilikan umum yang jumlahnya tidak terbatas. Seperti yang dijelaskan dalam
sebuah hadist yang artinya “Manusia
bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air, dan energi.” (HR.
Abu Dawud dan Ibn Majah). Kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat di atas,
pengelolaan SDA tidak hanya dikelola oleh orang yang banyak modalnya saja,
namun dapat dikelola oleh seluruh masyarakat dengan bijak.
Referensi
Al-Islam 501. (2010). Negara Tanpa
Pajak dan Hutang. [Online]. Tersedia: http://hizbut-tahrir.or.id (8 Maret
2015).
Arianto, Nur. (2012). Siapkah Membangun Negeri Ini Tanpa Pajak?. [Online]. Tersedia: http://www.pajak.go.id (8 Maret 2015).
Gudang Ilmu Ekonomi. (2014). Dasar-dasar
Perpajakan. [Online]. Tersedia: https://www.facebook.com/Ilmu.ekonomi26
(8 Maret
2015).
Kartikasari. Endah. Pengelolaan
Negara Tanpa Utang dan Pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar