Minggu, 18 Oktober 2015

Essay tentang Pengelolaan Negara Tanpa Pajak dan Utang

Text Box: TUGAS 2Nama              : Dede Santika
Nim                 : 1203477
Prodi               : Pendidikan Ekonomi 2012 A
Tugas              : Essay tentang Pengelolaan Negara Tanpa Pajak dan Utang.
Mata Kuliah : Ekonomi Publik

Pengelolaan Negara Tanpa Pajak dan Utang
a.      Gambaran Umum Pajak di Negara Indonesia
Menurut Prof.Dr. Rachmat Soemitro, S.H. pajak adalah iuran rakyat kepada Negara yang berdasarkan Undang-Undang, tidak mendapat timbal balik yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan apabila dilihat dari sisi propektif ekonomi maka pajak adalah beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan individu dalam kepentingan menguasai sumber daya dan bertambahnya kemampuan keuangan Negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Seperti negara-negara lainnya, Indonesia juga mengenakan pajak terhadap warga negaranya. Tax rasio Indonesia masih tergolong cukup kecil, yaitu hanya berada dikisaran 12%.  Meskipun demikian, jumlah penerimaan pajak selalu mengalami peningkatan setiap tahun, bahkan tahun 2012, penerimaan pajak dan bea cukai ditargetkan mencapai lebih dari 1000 trilliun. Jika melihat komposisi penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),  sejak tahun 2006 s.d 2011, sektor pajak dan bea cukai memberi sumbangsih rata-rata sebesar 70% dari total pendapatan negara. Dengan kondisi tersebut,  tidak bisa dipungkiri bahwa sektor pajak merupakan  sumber utama pembiayaan negara. Indonesia belum siap untuk mengandalkan sektor lain selain sektor pajak. Dalam APBN tahun 2011, penerimaan dari sektor pajak mencapai Rp.873.9 triliun, sedangkan penerimaan negara dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp.352 triliun. Meskipun terbilang cukup besar, penerimaan  sektor ESDM ini belum mampu menutupi pengeluaran negara dan hanya memberi sumbangsih sebesar 29,7 % dari total penerimaan negara. 
Indonesia adalah negeri kaya yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Tetapi ada beberapa alasan mengapa pajak tetap menjadi prioritas utama bagi penerimaan negara, yaitu: 
  1. Faktor geografis dan demografi Indonesia, dimana indonesia memiliki wilayah luas yang terdiri dari 17.000 pulau dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia yang populasinya mencapai 240 juta jiwa. Dengan kondisi tersebut, pembangunan secara merata diseluruh wilayah dan upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan dukungan finansial yang kuat untuk mewujudkan hal tersebut. Hasil kekayaan alam yang kita miliki ternyata belum cukup mampu membiayai program tersebut, sehingga peranan pajak masih sangat diperlukan.
  2. Meskipun Indonesia memiliki kekayaan sumber alam yang melimpah, semua akan menjadi sia-sia jika tidak mampu dikelola dengan baik. Pembangunan infrastruktur tentunya menjadi faktor penunjang utama untuk memaksimalkan pengolahan kekayaan alam. Namun, pembangungan infrastruktur merupakan investasi yang sangat besar dan penerimaan pajak tetap menjadi sumber utama untuk membiayai investasi tersebut.
  3. Pertimbangan bahwa suatu saat kekayaan alam yang kita miliki akan habis, menjadikan pajak sebagai prioritas dan solusi utama sumber pembiayaan negara.
Penjelasan di atas adalah gambaran umum mengenai negara Indonesia. Negara yang diakui tidak menganut sistem Kapitalisme ini, jelas-jelas terperosok dalam jurang yang dalam. Kekayaan yang melimpah tidak memberikan manfaat untuk rakyatnya. Negara dan rakyatnya terus-menerus terbelit utang yang semakin membesar. Selain beban utang, rakyat pun harus menanggung beban pajak yang semakin lama semakin ragam itemnya, karena subsidi yang harusnya menjadi hak rakyat malah semakin dikurangi dan beban pajak pun semakin tinggi. Adapun akibat dari peningkatan pajak salah satunya bisa berdampak pada turunnya daya beli masyarakat, dengan begitu Agregat Demand pun akan mengalami penurunan pula. Sebab, pada dasarnya konsumsi masyarakat adalah salah satu komponen utama yang menunjang pendapatan nasional. Sehingga akhirnya akan mengurangi jumlah pendapatan negara. Seperti layaknya lingkaran setan, ketika akan memperbaiki suatu hal dengan meningkatkan salah satu faktor, tetapi  malah berdampak faktor lain yang mengalami penurunan. Hal yang merugikan masyarakat adalah adalah kebocoran pengelolaan pajak yang masuk pada kantong-kantong tertentu. Di samping itu, pemerintah tidak bisa memberikan transparansi pengelolaan pajak secara benar kepada masyarakat luas. Pembiyaan negara bisa dilakukan dengan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mengelola negara pada zaman pemerintahannya.

b.      Ketentuan Islam Mengenai Pajak
Istilah pajak dalam khasanah fikih Islam adalah sebagai ad-Dharibah yang artinya secara terminologis merupakan harta yang diambil dari rakyat untuk mengurus negara. Pajak dalam Islam diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai beberapa kebutuhan dan pos-pos lainnya diwajibkan kepada mereka,ketika di Baitul Maal tidak ada lagi harta. Pengelolaan keuangan negara ketika Rasulullah tidak terfokus pada sektor pajak. Namun, dijelaskan dalam Islam bahwa suatu negara dapat memperoleh sumber-sumber penerimaan negara yang bersifat tetap yaitu dari: harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah; harta milik umum; harta milik negara; ‘usyr; khumus rikâz; barang tambang; dan zakat. Pemasukan tersebut diupayakan harus cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran yang wajib ditunaikan oleh Baitul Mal. Dengan seluruh sumber di atas, negara pada dasarnya akan mampu membiayai dirinya dalam rangka mensejahterakan rakyatnya. Dalam keadaan normal, pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Negara hanya memungut pajak sewaktu-waktu, yaitu saat kas negara benar-benar defisit. Itu pun hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya saja, tidak berlaku secara umum atas seluruh warga negara. Dalam hal ini, Khilafah tidak akan pernah memungut pajak secara rutin, apalagi menjadikannya sumber utama penerimaan negara (An-Nabhani, 2004: 238).
Selain adanya pemasukan rutin, syariat Islam juga telah mengatur pos-pos pengeluaran tertentu yang harus dipenuhi oleh Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak. Jika pos-pos pengeluaran penting tersebut tidak ditutupi oleh Baitul Mal, maka negara tidak akan memungut pajak dari rakyatnya. Namun, pada kondisi tertentu beban yang dipikul negara Khilafah sangatlah besar, sehingga pendapat Baitul Mal tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib. Jika pendapatan negara tidak cukup, maka negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Tetapi jika sumbangan tersebut juga tidak bisa menutupi pos-pos kebutuhan dan pengeluaran wajib, maka saat itulah kewajiban pembiyaan berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran tersebut beralih pada seluruh kaum Muslim. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membiayai berbagai kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran tersebut, ketika Baitul Mal tidak sanggup lagi. Alasan lain jika kebutuhan dan pos-pos pengelurana itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan terhadap kaum Muslim. Padahal Allah SWT juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan.”.(HR. Bukhari dan Muslim).
c.       Kriteria Pajak dalam Islam
Penetapan pajak kepada rakyat dalam Islam pada dasarnya karena kondisi emergency (darurat), bukan kondisi normal. Hukum asalnya bahkan haram, tetapi menjadi boleh setelah kaadaan menjadi darurat. Oleh karena itu, tidak semua negara dalam pandangan Islam menjadi wajib pajak, dalam pengertian Dharibah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Islam pun telah menetapkan kriteria pajak tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Muslim,
2.      Mampun dan mempunyai kelebihan harta,
3.      Dipungut sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.
Mengenai alasan syara’ menetapkan wajib pajak tersebut kepada Muslim, karena kebutuhan yang didanai melalui pajak tersebut adalah kebutuhan jihad, dan yang terkait seperti pembentukan pasukan, latihan militer, pengadaan alustista dan sebagainya, sementara aktivitas ini merupakan kewajiban kaum Muslim. Selain jihad, kebutuhan yang didanai melalui pajak yaitu kebutuhan fakir miskin dan Ibnu Sabil, dimana pembiyaan terhadap mereka telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslim. Demikian halnya kebutuhan untuk membayar gaji tentara, pegawai, hakim, guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan untuk kemaslahatan kaum Muslim, bukan yang lain. Begitu juga pemerintah menghilangkan bahaya (dharar) itu juga diperintahkan kepada kaum Muslim, seperti pembukaan jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran air minum, dan yang lainnya. Karena jika tidak ada, maka akan menjadi dharar dalam kehidupan mereka. Termasuk di dalamnya, pembiayaan untuk keadaan darurat maupun bencana alam, seperti longsor, gempa bumi, angin topan, dan pembiayaan untuk mengusir musum. Semua itu diperintahkan oleh syara’ kepada kaum Muslim. Karena itu, jika pajak dipungut dari orang non-Muslim, statusnya sama dengan mengambil harta yang tidak diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan ini jelas zalim. Dengan kata lain, mewajibkan apa yang tidak diiwajibkan oleh Allah SWT. Keduanya sama-sama tidak boleh. Untuk orang non-Muslim, syariat tidak pernah mewajibkan kepada mereka, selain jizyah, sehingga tidak boleh mengambil harta lain dari mereka.
Adapun wajib pajak tersebut ditetapkan hanya untuk orang yang mampu dan mempunyai kelebihan harta, karena Rasulullah SAW bersabda:
‘Sebaik-baiknya sedekah adalah harta yang diberikan oleh orang kaya.’ (HR. Khuzaimah).

d.      Alokasi Penggunaan Pajak jika Dibutuhkan
Adapun kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang pembiayaannya bisa diambil dari pajak, jika Baitul Mal dan sumbangan sukarela kaum Muslim tidak mencukupi untuk menutupi pembiyaan adalah sebagai berikut ini:
·         Pembiayaan jihad dan semua hal yang berkaitan dengan aktivitas jihad seperti pembentukan pasukan yang kuat dsb.
·         Pembiayaan industri militer maupun pabrik-pabrik penunjangnya yang memungkinakan negara mempunyai industri persenjataan.
·         Pembiayaan bagi fakir miskin dan Ibnu Sabil.
·         Pembiayaan untuk gaji tentara, pegawai, hakim, guru, dan lain-lain.
·         Pembiayaan untuk kemasalhatan umat yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai menyebabkan bahaya.
·         Pembiyaan untuk keadaaan darurat seperti bencana alam.

e.       Pandangan Islam tentang Utang
Utang disebut oleh para fukaha’ dengan istilah al-qardh, secara harfiah berarti al-qath’ (potongan). Karena harta tersebut merupakan potongan dari harta benda pemberi utang (al-mudharib). Sedangkan mazhab Hanafi memberikan rincian sebagai berikut:
·         Barang yang diberikan sebagai utang harus mempunyai nilai finasial.
·          Kekhususan manfaat.
·         Tidak memungkinkan terjadinya ‘ariyah (pinjaman).
·         Ada barang pengganti yang diambil.
·         Barang pengganti tidak berbeda dengan yang diganti.
Inilah batasan dan ketentuan umum tentang utang, termasuk barang yang diutang. Ketentuan ini  mendeskripsikan bahwa utang adalah bentuk akad yang melibatkan dua pihak. Adapun kriteria pengutang (al-mustaqridh):
·         Baligh
·         Berakal
·         Bebas (tidak dipaksa)
·         Orang yang layak melakukan tabarru (memberikan harta).

Dari penjelasan di atas dapat dimimpulkan bahwa sistem Ekonomi Syariah merupakan jalan yang terbaik untuk menjadikan Indonesia menjadi lebih maju. Tidak ada yang merasa dirugikan terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Tidak akan ada pula kekayaan yang dikuasai oleh sebagian kelompok kecil saja. Dalam Syariat Islam, SDA merupakan kepimilikan umum yang jumlahnya tidak terbatas. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadist yang artinya “Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air, dan energi.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah). Kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat di atas, pengelolaan SDA tidak hanya dikelola oleh orang yang banyak modalnya saja, namun dapat dikelola oleh seluruh masyarakat dengan bijak.
           
Referensi
Al-Islam 501. (2010). Negara Tanpa Pajak dan Hutang. [Online]. Tersedia:  http://hizbut-tahrir.or.id (8 Maret 2015).
Arianto, Nur. (2012). Siapkah Membangun Negeri Ini Tanpa Pajak?. [Online]. Tersedia: http://www.pajak.go.id (8 Maret 2015).
Gudang Ilmu Ekonomi. (2014). Dasar-dasar Perpajakan. [Online]. Tersedia: https://www.facebook.com/Ilmu.ekonomi26 (8 Maret 2015).
Kartikasari. Endah. Pengelolaan Negara Tanpa Utang dan Pajak.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar